KEADAAN ini justru akan memberikan warna keindahan “pelangi” wacana
dan pemikiran dalam Islam politik maupun Islam Sunda di Jawa Barat
khususnya maupun di tanah air pada umumnya. Oleh karena itu, penulis
tampaknya perlu memberikan counter argumen dan klarifikasi
terhadap beberapa bagian yang menjadi sorotan AS. Meskipun, untuk
sorotan tentang Islam politik, penulis sangat berterima kasih kepada
Herman Ibrahim –disingkat HI–yang telah memberikan penguatan dan
tanggapan balik yang dalam banyak hal sejalan dengan pemikiran penulis
termasuk untuk bagian yang berkaitan dengan DI/TII-nya sehingga dalam
bagian ini tidak banyak lagi yang akan diulas.
Islam Sunda
Teori dominasi atau dalam kaitan budaya disebut mainstream yang dikemukakan HI sangat tepat untuk menggambarkan suatu komunitas atau negara dengan image
tertentu tanpa mengabaikan yang minoritas. Sehingga masuknya Indonesia
ke dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) berlangsuing tanpa
kontroversi, padahal jelas bahwa bangsa kita tidak semua beragama Islam
dan sampai saat ini warga yang non-Muslim ini tidak pernah terdengar ada
yang protes dengan keanggotaan kita dalam OKI. Sebagaimana juga tidak
semua warga Arab beragama Islam tapi bahwa Arab sebagai negeri Muslim
sudah tak terbantahkan.
Demikian juga kalau dikatakan bahwa jika etnis Sunda sangat identik
dengan Islam karena memang mayoritasnya beragama Islam sehingga akan
tetap menjadi suatu anomali jika ada orang Sunda yang tidak beragama
Islam. Bahkan, secara ekstrem ada seorang tokoh Sunda yang mengatakan
bahwa, “Islam teh Sunda jeung Sunda teh Islam” (lihat Jacob
Sumardjo, 325:2003). Pernyataan ini tentu kontroversial, karena kalau
Sunda itu identik dengan Islam meskipun bisa diterima tapi bagi orang
seperti AS terbukti menolaknya bagaimana lagi kalau dikatakan Islam itu
Sunda maka reaksinya akan semakin keras dan luas — khususnya dari
kalangan Islam fundamentalis — karena berarti mereduksi Islam yang
bersifat samawi dengan kesundaan yang bersifat terbatas dan etnis (ardhi).
Oleh karena itu Ajip Rosidi menengahinya dengan mengatakan, “Islam heula samemeh Sunda”. Jadi,
pertama-tama orang Sunda itu harus Islam dahulu dan segala sesuatu yang
Sunda dan tak bertentangan dengan Islam dapat menjadikan seorang Sunda
Islam menjadi Sunda. Dan di kalangan masyarakat Sunda terlihat bahwa dua
kekuatan ini memengaruhi perilaku dan orientasi hidupnya, ada yang
lebih kuat keislamannya dan sebagian warga lain di daerah-daerah lebih
kuat pengaruh sistem Sunda wiwitan dari pengaruh Hindu-Buddhanya.
Dua kecenderungan ini dalam model Geertz dapat dibaca sebagai Islam
santri dan Islam abangan. Sebagai sebuah model, tentu saja ada
simplikasi dalam melihat realitas kecenderungan keagamaan yang lebih
kompleks di masyarakat, tapi justru karena itu kita lebih bisa
memahaminya dengan cara pemodelan tersebut.
Pola kecenderungan itu dalam model trikotomik Geertz disebut santri
yang berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha
mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan
lainnya. Sedangkan abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman
keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme. Dan priyayi
berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman agama mereka banyak
dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
Trikotomi Geertz memang sejak awal membingungkan karena
mencampuradukkan aspek keberagaman dengan stratifikasi sosial dan dalam
kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi
dan perbauran. Muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk
memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi
menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah, dan golongan
abangan berada di bagian bawah.
Tanpa harus membaca Headley, tulisan Geertz sejak awal banyak
dikritik. Salah satu yang pertama dari Harsya Bachtiar yang menurutnya,
ketiga varian Geertz tersebut tidak bersumber pada satu sistem
klasifikasi yang sama. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian karena
ketiga varian ini kadang-kadang bercampur. Meskipun demikian,
klasifikasi Geertz sangat membantu untuk melihat sifat dan watak kaum
Muslimin Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Karena penggolongan
religio-sosial tersebut didasarkan pada pengalaman agama, maka yang
digunakan biasanya konsep abangan dan santri, sementara priyayi
dipandang berada di tempat yang lain.
Klasifikasi santri-abangan dilakukan berdasarkan pengalaman agama dan
tampak secara horisontal. Sedangkan priyayi (secara sosial),
penggolongannya adalah vertikal. Dengan demikian, menggabungkan
ketiganya dalam satu klasifikasi adalah menyesatkan. Kritik yang sama
datang dari Heffner, seorang antropolog dari Universitas Boston Amerika
Serikat. Heffner lebih menyukai istilah Javanism daripada abangan karena tidak semata-mata pada kepercayaan, tetapi juga institusi sosial.
Ruth McVey, yang mengomentari konsep trikotomik Geertz berkata,
“Dalam kenyataan, pembagian tiga priyayi-santri-abangan didasarkan atas
dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan. Dalam hal kebudayaan
pemisahan utama terjadi antara ajaran Islam dan ‘agama Jawa’ yang
dianut para priyayi-abangan yang memasukkan pikiran pra-Islam ke
dalamnya serta mewakili kebudayaan desa dan keraton di Jawa pedalaman,
dalam mempertahankan diri terhadap kekuasaan Islam yang telah melangkah
maju dalam sejarah. Dilihat dari pendirian ini maka masyarakat Jawa
terbagi menjadi dua — bukan tiga bagian kebudayaan. Dan sesungguhnya ini
merupakan pembagian dua atas golongan santri dan abangan”.
Sampai sekarang, kedua golongan ini masih ada dan pengaruhnya begitu
merasuk dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa. Dalam sejarahnya,
keduanya merupakan unsur-unsur penting dalam proses perubahan sosial,
politik, dan agama di Indonesia. Dalam keadaan demikian, santri dan
abangan memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan sosial, politik dan
beragama di Indonesia. Tidaklah berlebihan bila Emerson mengatakan bahwa
penggolongan santri-abangan merupakan favorit topik bagi para pengamat
politik Indonesia.
Dari pemikiran Geertz itu, Herbert Feith kemudian menderivasi menjadi
lima aliran pemikiran politik di Indonesia yang dipengaruhi oleh Hindu,
tradisionalisme Jawa, Islam serta Barat ke dalam ideologi komunisme
(PKI), nasionalisme radikal (PNI), sosialisme (PSI), Islam (NU dan
Masyumi) dan Tradisionalisme Jawa.
Pada saat ini, pengelompokan abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan karena adanya konvergensi sosial). Terjadi mobilitas sosial dari wong cilik ke
atas, dan sebaliknya dari priyayi ke bawah. Sementara itu, golongan
santri dan abangan sudah membuka diri sehingga terjadi proses saling
mengisi. Akibatnya, batas-batas kultural di antara mereka sulit dikenali
lagi. Bahkan di tengah kebangkitan dan antusiasme Islam belakangan
terjadi “santrinisasi” kelompok abangan & sekuler, malah sebagian
mereka mengeras menjadi “neo fundamentalisme”.
Dengan demikian tentu saja model trikotomi Geertz dalam membaca pola
kecenderungan masyarakat Sunda tidak bisa dipakai seluruhnya, meskipun
di beberapa bagian dapat digunakan alakadarnya. Dulu, di tatar Sunda,
karena pengaruh Mataram, masyarakat dibagi ke dalam kaum menak (bupati -priyayi) atau senata dalem (bangsawan keturunan bupati) dan golongan atau somah
(rakyat biasa). Sedangkan istilah santri di tatar Sunda cukup populer
yang berkonotasi taat beribadah dan berkelakuan baik sehingga Bupati
R.A.T. Wiranatakusumah pada saat itu dikenal sebagai bupati yang nyantri.
Sedangkan istilah abangan, di tatar Sunda memang tidak populer untuk
menggambarkan orang yang kurang taat melaksanakan ajaran agama sering
masuk dalam kategori ini misalnya apa yang dulu disebut syahadat kalimusada, Islam Saepi dan Islam Madrais yang satu sama lain mempunyai karakter tersendiri.
Berkaitan dengan Madrais, ini awalnya merupakan kesalahan strategi
dakwah sebagaimana dicontohkan para wali songo di mana mereka tidak
menghadapi budaya yang ada secara frontal tapi melingkar dan merasuk ke
dalam sehingga aspek substansi secara tidak disadari sudah berubah
dengan warna Islam, contoh cerita pewayangan dan beberapa adat istiadat.
Dan model ini tidak berhasil ketika proses Islamisasi di daerah Cigugur
karena telanjur dicap penyimpangan sehingga akhirnya mereka lari ke
PKI, Sunda wiwitan dan akhirnya ke Kristen, karena masyarakat Islam yang ada sudah tidak menerimanya.
Terlepas dari itu, semua proses Islamisasi di Jawa sejak awal
dilakukan tanpa paksaan dan atas dasar sukarela, lembut dan penuh
toleransi dan justru ini yang menjadi salah satu keberhasilannya.
Sehingga jika ada beberapa kelompok yang belum tersentuh di satu etnis
yang sama harus dianggap suatu yang wajar saja, khususnya untuk kelompok
Kristen di Cideres dan sebaiknya justru menjadi “PR” juru dakwah
selanjutnya.
Modernisme Islam
Berkaitan dengan modernisme Islam seperti dipertanyakan AS, penulis
melihat bahwa modernisme Islam pada dasarnya adalah suatu gerakan
pemikiran untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah yang pada tahap awal
dimotori oleh Ibnu Taymiyah, kemudian Muhammad Ibn Abdul Wahab dan
secara lebih kuat ditampilkan oleh Al-Afgani dalam penggalian keilmuan
dan filsafat untuk pembaharuan pendidikan yang berjuang penuh semangat
untuk membebaskan hati dan pikiran umat dari tahayul, masa bodoh dan
pasivisme. Dan dalam bidang politik dengan menggelorakan Pan
Islamisme-nya yang bertujuan untuk menentang penetrasi Eropa. Upaya ini
selanjutnya diteruskan oleh Muh. Abduh dan Rasyid Ridha sehingga sering
dikatakan bahwa, “Al-Afgani adalah pemberi ilham dari mazhab salaf,
Abduh adalah otaknya dan Rasyid Ridha adalah juru bicaranya”.
Dengan demikian modernisme Islam berusaha memberikan tafsir terhadap
realitas kekinian dari perspektif keislaman atau seperti kata Bassam
Tibi yaitu upaya pengintegrasian ilmu dan teknologi modern ke dalam
Islam tetapi berusaha menghindari berbagai konsekuensi negatif dari
penerapannya. Kaum modernis berusaha melihat Islam sebagai “jalan
tengah”, dari kecenderungan-kecenderungan ekstrem yang terdapat dalam
agama-agama dan paham. Karena Alquran sendiri menurut kaum ini,
menjadikan umat sebagai ummatan washatan (umat pertengahan) dan khayru ummah (umat terbaik) yang ditonjolkan Allah terhadap umat-umat lain. Berdasarkan itu, modernisme memandang dalam bidang muamallah, harus
bersifat terbuka (inklusif) dan memandang hikmah seperti dikatakan
suatu hadis sebagai, “harta kekayaan orang beriman yang hilang”.
Oleh karena itu, dalam banyak hal, modernisme Islam sering dihadapkan
pada fundamentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak
umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip Islam yang fundamental,
kembali kepada kemurnian etika dengan cara pengintegrasian doktrin agama
dalam hubungan antarmanusia, Tuhan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu,
dalam penafsiran kaum ini sering bersifat rigid dan literalis
karena memandang bahwa corak pengaturan doktrin Islam bersifat total dan
serbamencakup. Karena itu ijtihad dibatasi hanya pada masalah-masalah
ketika doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan detail.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum modernis yang melihat bahwa doktrin
hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal dan
karena itu ijtihad harus digalakkan. Oleh karena itu, dalam bidang
politik kaum modernis tidak mementingkan simbol-simbol formal seperti
“negara Islam” atau “dasar negara Islam” melainkan semangat dan jiwa
hakikat hidup bernegara itu yang lebih penting. Sehingga secara umum
kaum modernis dapat beradaptasi dengan gagasan demokrasi liberal yang
berkembang di Barat seperti pluralisme, partisipasi politik, kebebasan
beragama, dan lain-lain.
Alhasil, dalam dinamika kehidupan mustahil melahirkan “kesatuan” dan
keseragaman pemikiran, aliran keagamaan dan ideologi politik, karena
takdir kehidupan sendiri setidaknya berpasangan. Oleh karena itu,
perbedaan harus dilihat secara positif dan rahmat untuk melahirkan
hikmah dan pencerahan, sebagaimana diharapkan dari polemik ini. Semoga
demikianlah adanya.***(Penulis Rektor Unpas dan Sekjen PB Paguyuban
Pasundan, Pikiran Rakyat, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar