Blog tentang kesundaan dan hal menarik lainnya seputar Adat dan Budaya Sunda.
Sabtu, 04 Agustus 2012
Gagak Jadi Hideung
Teu kungsi lila balong teh saat laukna sing kocopok loba. Jol datang gagak kadinya haritamah gagak teh buluna bodas ngeplak. Ujug-ujug corokcok weh laukna dipacokan nepi beak lauk nu baradagnamah.
Ku oray sanca katempoen gagak maling lauk, geuwat digenggereuhkeun, tapi gagak ngalah beuki ngahajakeun. Atuh oray ambek sebrut bae diudag gagakteh. Gagak teh hiber kuorang diobrot, gagak teh bingung da diberik wae sieunen katewak. Kabeneran aya nu keur neleum, gebrus bae gagak teh asup ka jero pijanaan. Atuh ari muncul deui teh geus lestreng .
Barang jol oray sanca teh panglingeun, da jadi hideung lestereng. Pok weh oray sanca nanya, “mahlik hideung maneh nempo sakadang gagak teu bieu liwat kadieu?”
Gagak teh sorana digedekeun, ngomongna oge basa Betawi, da sieunen katara, “Engga, gaaaa!”
Tah kitu sasakalana manuk gagak buluna hideung jeung sorana gaaa, gaaaak!
Rincian Dongeng:
- Judulna : Gagak Jadi Hideung
- Bahasana : Kasar
- Palakuna : Gagak jeung Oray Sanca
- Watek palakuna :
Gagak = Badeur, sok daek nyopet, te bisa digenggereuhkeun.
Oray Sanca = Getol, daek usaha, rajin.
- Tempat/latar : Caritana jaman baheula di hiji balong nu loba laukan
- Eusi/hikmah nu bisa di cokot :
Ari jadi jalma teh kudu getol daekan, ulet, usaha lamun hayang bog amah kos sakadang Oray Sanca. Ulah jiga Gagak baong, haying ngenah doing embung gawe.
Sumber: Dongeng Basa Sunda
Sunda dan Modernisme Islam
Islam Sunda
Teori dominasi atau dalam kaitan budaya disebut mainstream yang dikemukakan HI sangat tepat untuk menggambarkan suatu komunitas atau negara dengan image tertentu tanpa mengabaikan yang minoritas. Sehingga masuknya Indonesia ke dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) berlangsuing tanpa kontroversi, padahal jelas bahwa bangsa kita tidak semua beragama Islam dan sampai saat ini warga yang non-Muslim ini tidak pernah terdengar ada yang protes dengan keanggotaan kita dalam OKI. Sebagaimana juga tidak semua warga Arab beragama Islam tapi bahwa Arab sebagai negeri Muslim sudah tak terbantahkan.
Demikian juga kalau dikatakan bahwa jika etnis Sunda sangat identik dengan Islam karena memang mayoritasnya beragama Islam sehingga akan tetap menjadi suatu anomali jika ada orang Sunda yang tidak beragama Islam. Bahkan, secara ekstrem ada seorang tokoh Sunda yang mengatakan bahwa, “Islam teh Sunda jeung Sunda teh Islam” (lihat Jacob Sumardjo, 325:2003). Pernyataan ini tentu kontroversial, karena kalau Sunda itu identik dengan Islam meskipun bisa diterima tapi bagi orang seperti AS terbukti menolaknya bagaimana lagi kalau dikatakan Islam itu Sunda maka reaksinya akan semakin keras dan luas — khususnya dari kalangan Islam fundamentalis — karena berarti mereduksi Islam yang bersifat samawi dengan kesundaan yang bersifat terbatas dan etnis (ardhi).
Oleh karena itu Ajip Rosidi menengahinya dengan mengatakan, “Islam heula samemeh Sunda”. Jadi, pertama-tama orang Sunda itu harus Islam dahulu dan segala sesuatu yang Sunda dan tak bertentangan dengan Islam dapat menjadikan seorang Sunda Islam menjadi Sunda. Dan di kalangan masyarakat Sunda terlihat bahwa dua kekuatan ini memengaruhi perilaku dan orientasi hidupnya, ada yang lebih kuat keislamannya dan sebagian warga lain di daerah-daerah lebih kuat pengaruh sistem Sunda wiwitan dari pengaruh Hindu-Buddhanya.
Dua kecenderungan ini dalam model Geertz dapat dibaca sebagai Islam santri dan Islam abangan. Sebagai sebuah model, tentu saja ada simplikasi dalam melihat realitas kecenderungan keagamaan yang lebih kompleks di masyarakat, tapi justru karena itu kita lebih bisa memahaminya dengan cara pemodelan tersebut.
Pola kecenderungan itu dalam model trikotomik Geertz disebut santri yang berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya. Sedangkan abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan campuran Islam dengan animisme. Dan priyayi berpusat di kantor pemerintah. Pengalaman agama mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu.
Trikotomi Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek keberagaman dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu karena masing-masing terjadi konversi dan perbauran. Muncul dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di bagian tengah, dan golongan abangan berada di bagian bawah.
Tanpa harus membaca Headley, tulisan Geertz sejak awal banyak dikritik. Salah satu yang pertama dari Harsya Bachtiar yang menurutnya, ketiga varian Geertz tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Dalam kenyataannya, tidak selalu demikian karena ketiga varian ini kadang-kadang bercampur. Meskipun demikian, klasifikasi Geertz sangat membantu untuk melihat sifat dan watak kaum Muslimin Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Karena penggolongan religio-sosial tersebut didasarkan pada pengalaman agama, maka yang digunakan biasanya konsep abangan dan santri, sementara priyayi dipandang berada di tempat yang lain.
Klasifikasi santri-abangan dilakukan berdasarkan pengalaman agama dan tampak secara horisontal. Sedangkan priyayi (secara sosial), penggolongannya adalah vertikal. Dengan demikian, menggabungkan ketiganya dalam satu klasifikasi adalah menyesatkan. Kritik yang sama datang dari Heffner, seorang antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat. Heffner lebih menyukai istilah Javanism daripada abangan karena tidak semata-mata pada kepercayaan, tetapi juga institusi sosial.
Ruth McVey, yang mengomentari konsep trikotomik Geertz berkata, “Dalam kenyataan, pembagian tiga priyayi-santri-abangan didasarkan atas dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan. Dalam hal kebudayaan pemisahan utama terjadi antara ajaran Islam dan ‘agama Jawa’ yang dianut para priyayi-abangan yang memasukkan pikiran pra-Islam ke dalamnya serta mewakili kebudayaan desa dan keraton di Jawa pedalaman, dalam mempertahankan diri terhadap kekuasaan Islam yang telah melangkah maju dalam sejarah. Dilihat dari pendirian ini maka masyarakat Jawa terbagi menjadi dua — bukan tiga bagian kebudayaan. Dan sesungguhnya ini merupakan pembagian dua atas golongan santri dan abangan”.
Sampai sekarang, kedua golongan ini masih ada dan pengaruhnya begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa. Dalam sejarahnya, keduanya merupakan unsur-unsur penting dalam proses perubahan sosial, politik, dan agama di Indonesia. Dalam keadaan demikian, santri dan abangan memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan sosial, politik dan beragama di Indonesia. Tidaklah berlebihan bila Emerson mengatakan bahwa penggolongan santri-abangan merupakan favorit topik bagi para pengamat politik Indonesia.
Dari pemikiran Geertz itu, Herbert Feith kemudian menderivasi menjadi lima aliran pemikiran politik di Indonesia yang dipengaruhi oleh Hindu, tradisionalisme Jawa, Islam serta Barat ke dalam ideologi komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), sosialisme (PSI), Islam (NU dan Masyumi) dan Tradisionalisme Jawa.
Pada saat ini, pengelompokan abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan karena adanya konvergensi sosial). Terjadi mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya dari priyayi ke bawah. Sementara itu, golongan santri dan abangan sudah membuka diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya, batas-batas kultural di antara mereka sulit dikenali lagi. Bahkan di tengah kebangkitan dan antusiasme Islam belakangan terjadi “santrinisasi” kelompok abangan & sekuler, malah sebagian mereka mengeras menjadi “neo fundamentalisme”.
Dengan demikian tentu saja model trikotomi Geertz dalam membaca pola kecenderungan masyarakat Sunda tidak bisa dipakai seluruhnya, meskipun di beberapa bagian dapat digunakan alakadarnya. Dulu, di tatar Sunda, karena pengaruh Mataram, masyarakat dibagi ke dalam kaum menak (bupati -priyayi) atau senata dalem (bangsawan keturunan bupati) dan golongan atau somah (rakyat biasa). Sedangkan istilah santri di tatar Sunda cukup populer yang berkonotasi taat beribadah dan berkelakuan baik sehingga Bupati R.A.T. Wiranatakusumah pada saat itu dikenal sebagai bupati yang nyantri. Sedangkan istilah abangan, di tatar Sunda memang tidak populer untuk menggambarkan orang yang kurang taat melaksanakan ajaran agama sering masuk dalam kategori ini misalnya apa yang dulu disebut syahadat kalimusada, Islam Saepi dan Islam Madrais yang satu sama lain mempunyai karakter tersendiri.
Berkaitan dengan Madrais, ini awalnya merupakan kesalahan strategi dakwah sebagaimana dicontohkan para wali songo di mana mereka tidak menghadapi budaya yang ada secara frontal tapi melingkar dan merasuk ke dalam sehingga aspek substansi secara tidak disadari sudah berubah dengan warna Islam, contoh cerita pewayangan dan beberapa adat istiadat. Dan model ini tidak berhasil ketika proses Islamisasi di daerah Cigugur karena telanjur dicap penyimpangan sehingga akhirnya mereka lari ke PKI, Sunda wiwitan dan akhirnya ke Kristen, karena masyarakat Islam yang ada sudah tidak menerimanya.
Terlepas dari itu, semua proses Islamisasi di Jawa sejak awal dilakukan tanpa paksaan dan atas dasar sukarela, lembut dan penuh toleransi dan justru ini yang menjadi salah satu keberhasilannya. Sehingga jika ada beberapa kelompok yang belum tersentuh di satu etnis yang sama harus dianggap suatu yang wajar saja, khususnya untuk kelompok Kristen di Cideres dan sebaiknya justru menjadi “PR” juru dakwah selanjutnya.
Modernisme Islam
Berkaitan dengan modernisme Islam seperti dipertanyakan AS, penulis melihat bahwa modernisme Islam pada dasarnya adalah suatu gerakan pemikiran untuk kembali kepada Alquran dan Sunnah yang pada tahap awal dimotori oleh Ibnu Taymiyah, kemudian Muhammad Ibn Abdul Wahab dan secara lebih kuat ditampilkan oleh Al-Afgani dalam penggalian keilmuan dan filsafat untuk pembaharuan pendidikan yang berjuang penuh semangat untuk membebaskan hati dan pikiran umat dari tahayul, masa bodoh dan pasivisme. Dan dalam bidang politik dengan menggelorakan Pan Islamisme-nya yang bertujuan untuk menentang penetrasi Eropa. Upaya ini selanjutnya diteruskan oleh Muh. Abduh dan Rasyid Ridha sehingga sering dikatakan bahwa, “Al-Afgani adalah pemberi ilham dari mazhab salaf, Abduh adalah otaknya dan Rasyid Ridha adalah juru bicaranya”.
Dengan demikian modernisme Islam berusaha memberikan tafsir terhadap realitas kekinian dari perspektif keislaman atau seperti kata Bassam Tibi yaitu upaya pengintegrasian ilmu dan teknologi modern ke dalam Islam tetapi berusaha menghindari berbagai konsekuensi negatif dari penerapannya. Kaum modernis berusaha melihat Islam sebagai “jalan tengah”, dari kecenderungan-kecenderungan ekstrem yang terdapat dalam agama-agama dan paham. Karena Alquran sendiri menurut kaum ini, menjadikan umat sebagai ummatan washatan (umat pertengahan) dan khayru ummah (umat terbaik) yang ditonjolkan Allah terhadap umat-umat lain. Berdasarkan itu, modernisme memandang dalam bidang muamallah, harus bersifat terbuka (inklusif) dan memandang hikmah seperti dikatakan suatu hadis sebagai, “harta kekayaan orang beriman yang hilang”.
Oleh karena itu, dalam banyak hal, modernisme Islam sering dihadapkan pada fundamentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara pengintegrasian doktrin agama dalam hubungan antarmanusia, Tuhan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, dalam penafsiran kaum ini sering bersifat rigid dan literalis karena memandang bahwa corak pengaturan doktrin Islam bersifat total dan serbamencakup. Karena itu ijtihad dibatasi hanya pada masalah-masalah ketika doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan detail.
Hal ini tentu berbeda dengan kaum modernis yang melihat bahwa doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal dan karena itu ijtihad harus digalakkan. Oleh karena itu, dalam bidang politik kaum modernis tidak mementingkan simbol-simbol formal seperti “negara Islam” atau “dasar negara Islam” melainkan semangat dan jiwa hakikat hidup bernegara itu yang lebih penting. Sehingga secara umum kaum modernis dapat beradaptasi dengan gagasan demokrasi liberal yang berkembang di Barat seperti pluralisme, partisipasi politik, kebebasan beragama, dan lain-lain.
Alhasil, dalam dinamika kehidupan mustahil melahirkan “kesatuan” dan keseragaman pemikiran, aliran keagamaan dan ideologi politik, karena takdir kehidupan sendiri setidaknya berpasangan. Oleh karena itu, perbedaan harus dilihat secara positif dan rahmat untuk melahirkan hikmah dan pencerahan, sebagaimana diharapkan dari polemik ini. Semoga demikianlah adanya.***(Penulis Rektor Unpas dan Sekjen PB Paguyuban Pasundan, Pikiran Rakyat, 2005)
sejarah sunda
Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran. Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891. Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042). Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda. Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371). Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis. Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh. Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan. Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya. Pemerintahan berdaulat Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M) Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Prabu Geusan Ulun Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya. Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot. Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia. Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati). Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi): Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669). 0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362 1. Jayasingawarman, 358-382 2. Dharmayawarman, 382-395 3. Purnawarman, 395-434 4. Wisnuwarman, 434-455 5. Indrawarman, 455-515 6. Candrawarman, 515-535 7. Suryawarman, 535-561 8. Kertawarman, 561-628 9. Sudhawarman, 628-639 10. Hariwangsawarman, 639-640 11. Nagajayawarman, 640-666 12. Linggawarman, 666-669 Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang 1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723) 2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732) 3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739) 4. Rakeyan Banga (739 - 766) 5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783) 6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795) 7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819) 8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891) 9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895) 10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913) 11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916) 12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942) 13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954) 14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964) 15. Munding Ganawirya (964 - 973) 16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989) 17. Brajawisésa (989 - 1012) 18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019) 19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030) 20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042) 21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065) 22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155) 23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157) 24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175) 25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297) 26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303) 27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311) 28. Prabu Linggadéwata (1311-1333) 29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340) 30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350) 31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357) 32. Prabu Bunisora (1357-1371) 33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475) 34. Prabu Susuktunggal (1475-1482) 35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521) 36. Prabu Surawisésa (1521-1535) 37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543) 38. Prabu Sakti (1543-1551) 39. Prabu Nilakéndra (1551-1567) 40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579) 41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) Sumber: - Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007. - Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000 - Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005. - Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung. - Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1 - Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.